Seruan Tutup PT Toba Pulp Lestari Meluas, Dipicu Kerusakan Ekologi dan Konflik Sosial

Di Hari Lingkungan Hidup Sedunia, sejumlah kelompok masyarakat menyuarakan penutupan PT Toba Pulp Lestari, perusahaan bubur kertas berbasis hutan tanaman industri seluas 167.912 hektar di kawasan Danau Toba. Operasionalisasi perusahaan telah memicu kerusakan ekologi, konflik agraria, dan kriminalisasi masyarakat adat.

Kelompok masyarakat adat dan lembaga swadaya masyarakat sudah bertahun-tahun berjuang menyuarakan penutupan operasional PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL). Dukungan pun terus meluas. Yang terbaru datang dari lembaga keagamaan besar gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan 6,5 juta umat di kawasan Danau Toba serta gereja Katolik melalui Lembaga Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kapusin Medan.

”Kami menolak kehadiran PT Toba Pulp Lestari yang secara nyata telah merusak keanekaragaman hayati dan kekayaan ekosistem di kawasan Danau Toba,” kata Sumitro Sihombing dari OFM Cap, mewakili gereja Katolik, Kamis (5/6/2025).

Menurut Sumitro, perusahaan penghasil bubur kertas itu sangat eksploitatif terhadap alam dan hanya berorientasi pada keuntungan pribadi, kelompok, dan perusahaan. Tindakan itu mengabaikan tanggung jawab moral dan rasa keadilan bagi masyarakat dan generasi mendatang.

Eksploitasi alam telah mengakibatkan banjir, tanah longsor, kekeringan berkepanjangan, ketidakteraturan iklim, dan musnahnya keanekaragaman hayati.

Gereja Katolik melalui Lembaga Keadian Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kapusin Medan meminta penutupan perusahaan PT Toba Pulp Lestari di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, Kamis (5/6/2025). Perusahaan itu dinilai menyebabkan kerusakan ekologi dan konflik sosial.

DOKUMENTASI KPKC MEDAN
Gereja Katolik melalui Lembaga Keadian Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Kapusin Medan meminta penutupan perusahaan PT Toba Pulp Lestari di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, Kamis (5/6/2025). Perusahaan itu dinilai menyebabkan kerusakan ekologi dan konflik sosial.

Selain kerusakan alam, tumpang tindih konsesi dengan lahan masyarakat adat juga menyebabkan konflik agraria yang mengakibatkan penderitaan berkepanjangan masyarakat yang sudah turun-temurun hidupnya dari pertanian dan hasil hutan.

Kami menolak kehadiran PT Toba Pulp Lestari yang secara nyata telah merusak keanekaragaman hayati dan kekayaan ekosistem di kawasan Danau Toba.

Dalam banyak kasus, masyarakat adat yang memperjuangkan tanah ulayatnya harus dipenjara dan dikriminalisasi. Kasus penangkapan dan pemenjaraan tetua adat Sorbatua Siallagan (66) menggambarkan kriminalisasi masyarakat adat.

Sorbatua merupakan Ketua Masyarakat Adat Oppu Umbak Siallagan di Desa Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun. Atas tuduhan menduduki konsesi TPL, Dia ditangkap seperti penjahat oleh polisi pada 22 Maret 2024.

Sorbatua yang sepanjang hidup tinggal di rumah kayu berlantai tanah dijatuhi vonis 2 tahun dan denda Rp 1 miliar di Pengadilan Negeri Simalungun. Namun, putusan itu dianulir oleh Pengadilan Tinggi Medan dan Sorbatua dibebaskan dari segala tuntutan pidana.

Pembersihan material banjir bandang dan longsor masih terus dilakukan di jkawasan pariwisata Parapat di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (20/3/2025).

DOKUMENTASI KSPPM
Pembersihan material banjir bandang dan longsor masih terus dilakukan di kawasan pariwisata Parapat di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (20/3/2025).

”Saya ditangkap di hadapan istri saya seperti seorang penjahat. Lalu saya harus hidup di penjara selama tujuh bulan. Kemudian, saya dinyatakan tidak bersalah. Saya benar-benar dikriminalisasi,” ungkapnya.

Sumitro menuturkan, Sorbatua menjadi gambaran penderitaan masyarakat adat yang menghadapi konflik agraria setelah kehadiran TPL. Sorbatua masih harap-harap cemas menanti putusan kasasi majelis hakim Mahkamah Agung.

”Kami meminta Mahkamah Agung memberikan putusan bebas kepada Bapak Sorbatua Siallagan yang merupakan korban kriminalisasi dalam mempertahankan hak komunitas masyarakat adat,” kata Sumitro.

Penutupan PT TPL juga disuarakan secara keras oleh Ephorus HKBP Victor Tinambunan. ”Pernyataan penolakan atas beroperasinya PT TPL ini merupakan sikap resmi HKBP dan 6,5 juta umat HKBP di kawasan Danau Toba dan sekitarnya,” katanya.

Ia mengatakan, masyarakat harus menghadapi fakta yang menyakitkan ketika aktivitas PT TPL terus menyebabkan kerusakan alam dan bencana ekologis, mulai dari banjir bandang, tanah longsor, hingga pencemaran.

Pernyataan penolakan atas beroperasinya PT TPL ini merupakan sikap resmi HKBP dan 6,5 juta umat HKBP di kawasan Danau Toba dan sekitarnya.

TPL memiliki konsesi hutan 167.912 hektar yang sebagian besar berada di daerah tangkapan air Danau Toba yang hanya seluas 263.041 hektar.

Victor menyebut, TPL telah memperoleh pendapatan triliunan rupiah dari operasionalisasi di kawasan Danau Toba. Namun, menurut dia, kehadiran perusahaan tidak memberikan dampak ekonomi berarti bagi masyarakat dan daerah.

”Ini ironi yang sudah terjadi selama lebih dari 30 tahun. Saya menyerukan kepada pemilik dan pimpinan PT TPL untuk menutup operasional perusahaan sesegera mungkin,” kata Victor.

<p>Banjir bandang dan longsor menutup Jalan Pematangsiantar-Parapat di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Kamis (13/5/2021) sore. Akses ke kawasan wisata Parapat sempat tertutup karena bencana itu. </p>

KOMPAS/NIKSON SINAGA
Banjir bandang dan longsor menutup Jalan Pematangsiantar-Parapat di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, 13 Mei 2021.

Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Rocky Pasaribu mengatakan, banjir bandang pada Maret 2025 di kawasan Parapat yang menjadi jantung pariwisata Danau Toba menjadi gambaran nyata kerusakan lingkungan dan bencana ekologis akibat aktivitas TPL.

Ini ironi yang sudah terjadi selama lebih dari 30 tahun. Saya menyerukan kepada pemilik dan pimpinan PT TPL untuk menutup operasional perusahaan sesegera mungkin.

Rocky menyebut, TPL memiliki 20.360 hektar konsesi di sektor Aek Nauli, Simalungun, di hulu Parapat. Berdasarkan analisis spasial dan penelitian di lapangan yang dilakukan KSPPM, pembukaan hutan secara signifikan terjadi dalam 20 tahun terakhir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bolon Simalungun itu.

Pada tahun 2000, tutupan hutan alam di wilayah itu 10.348 hektar. Namun, luasan itu menyusut hingga tersisa 3.614 hektar pada 2023. Rocky menyatakan, kehilangan tutupan hutan yang cukup signifikan juga terjadi di kawasan konsesi hutan tanaman industri TPL.

Alat berat digunakan untuk membongkar batang kayu Eucalyptus dari atas truk untuk diolah menjadi pulp di pabrik milik PT Toba Pulp Lestari Tbk, Senin (8/8/2022). Perusahaan yang berada di Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, ini setiap hari mampu memproduksi pulp sebanyak 570 ton. Pulp yang dihasilkan sebagian besar untuk memenuhi pasar dalam negeri, sedangkan sisanya (21 persen) diekspor ke China, Taiwan, dan Vietnam KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK) 07-08-2022

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Alat berat digunakan untuk membongkar batang kayu eukaliptus dari atas truk untuk diolah menjadi pulp di pabrik milik PT Toba Pulp Lestari Tbk, pada 8 Agustus 2022.

Tanggapan TPL

Corporate Communication Head PT TPL Salomo Sitohang mengatakan, mereka menghargai hak setiap pihak menyampaikan pendapat, tetapi harus didasarkan data dan fakta yang akurat. ”Kami menolak tegas tuduhan bahwa operasional TPL menjadi penyebab bencana ekologi. Seluruh kegiatan kami sesuai dengan izin, peraturan, dan ketentuan,” kata Salomo.

Salomo menambahkan, audit menyeluruh dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022–2023. Hasilnya menyatakan, TPL mematuhi seluruh regulasi serta tidak ditemukan pelanggaran dalam aspek lingkungan ataupun sosial.

Dari luas konsesi 167.912 hektar, imbuhnya, perseroan hanya mengembangkan 46.000 hektar sebagai perkebunan eukaliptus serta 48.000 hektar sebagai area konservasi dan kawasan lindung.

TPL juga melakukan peremajaan pabrik untuk efisiensi dan pengurangan dampak lingkungan. Dalam aspek sosial, TPL juga membuka dialog, sosialisasi, dan program kemitraan bersama pemerintah, masyarakat adat, tokoh agama, dan lembaga swadaya masyarakat sebagai pendekatan sosial yang inklusif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *