Perusahaan produsen bubur kertas yang mengelola konsesi hutan tanaman industri di kawasan Danau Toba, PT Toba Pulp Lestari Tbk, kembali menjadi sorotan seiring meluasnya gerakan ”Tutup TPL”. Seruan-seruan itu datang dari berbagai elemen masyarakat.
Tak hanya dari masyarakat adat yang lahannya terdampak langsung, tuntutan juga datang dari gereja dan jutaan umatnya, aktivis lingkungan, organisasi masyarakat sipil, hingga akademisi.
Gelombang penolakan itu telah membawa Toba Pulp Lestari (TPL) tak lagi sekadar entitas bisnis, melainkan potret konflik berkepanjangan antara korporasi, lingkungan, dan hak-hak masyarakat adat. Sebab, konflik terus terjadi selama lebih dari empat dasawarsa.
Penolakan terhadap TPL kini berada pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai lembaga agama terbesar di Sumatera Utara dengan 6,5 juta anggota jemaatnya secara resmi menyuarakan sikap menolak keberadaan TPL.
Dukungan juga datang dari Gereja Katolik melalui Lembaga Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kapusin Medan. Selain itu juga koalisi masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan, akademisi, tokoh pemuda, dan aktivis hak asasi manusia.
Sebelumnya, aksi jalan kaki sejauh 1.700 kilometer dari Danau Toba ke Istana Merdeka di Jakarta menjadi simbol perjuangan yang menggugah publik nasional. Semua ini menunjukkan bahwa konflik dengan TPL bukan lagi soal lokal, melainkan krisis nasional yang menuntut perhatian serius. Mengapa masyarakat menolak kehadiran TPL?
Penolakan ini lahir dari pengalaman panjang masyarakat adat yang kehilangan ruang hidup. Sejak TPL beroperasi pada 1980-an (dulu bernama PT Inti Indorayon Utama), luas konsesi yang diberikan kepada perusahaan mencapai 167.912 hektar, sebagian besar berada pada daerah tangkapan air Danau Toba.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2022/08/08/ac2f451f-cf8b-41f9-8ec9-3d5ede743c60.jpg)
Konsesi perusahaan tumpang tindih dengan tanah-tanah ulayat yang dikelola masyarakat adat. Pohon-pohon kemenyan, simbol ekonomi dan budaya masyarakat Batak, masif berganti eukaliptus yang ekspansif dan rakus air. Masyarakat yang menggantungkan hidup dari hasil hutan dan pertanian tradisional pun terdesak dan kehilangan sumber penghidupan.
Tak hanya kehilangan tanah, masyarakat adat juga menghadapi kriminalisasi. Contoh paling nyata adalah kasus Sorbatua Siallagan, Ketua Masyarakat Adat Oppu Umbak Siallagan. Ia ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara karena dianggap menduduki lahan konsesi TPL.
Setelah melalui perjuangan hukum yang panjang, Pengadilan Tinggi Medan akhirnya membebaskan Sorbatua. Hakim menyatakan perbuatannya bukan pidana, melainkan perdata. Meski akhirnya dibebaskan, Sorbatua mengalami luka trauma. Ketakutan mendalam juga dialami masyarakat adat lainnya yang tengah memperjuangkan tanah ulayat.
Kasus terbaru adalah teror burung mati terhadap aktivis lingkungan Delima Silalahi. Bangkai burung berdarah yang dikirim ke rumahnya, pekan lalu, menyiratkan ancaman. Sebab, kiriman itu terjadi saat Delima gencar menyuarakan ”Tutup TPL”.
Data Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), sedikitnya 98 orang menjadi korban langsung kriminalisasi dan kekerasan di kawasan Danau Toba. Sebanyak 45 orang diproses hukum hingga ke pengadilan.
Rentetan bencana
Kerusakan lingkungan akibat aktivitas TPL pun sangat nyata. Pembukaan hutan secara masif di kawasan Danau Toba menyebabkan hilangnya tutupan hutan alam secara signifikan. Di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bolon, misalnya, tutupan hutan menyusut dari 10.348 hektar pada tahun 2000 menjadi hanya 3.614 hektar pada 2023. Hilangnya hutan ini menyebabkan bencana ekologis yang kian sering terjadi, mulai dari kekeringan, ketidakteraturan iklim, hingga banjir bandang.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2025/03/29/030065d4-7225-4893-abba-3fec2495d419_jpg.jpg)
Banjir bandang menerjang kawasan Parapat pada Maret 2025. Akibat bencana itu, Parapat yang merupakan jantung pariwisata Danau Toba lumpuh total. Rumah sakit, hotel, restoran, hingga jalan nasional rusak diterjang lumpur dan batu. Ribuan orang terdampak dan aktivitas ekonomi terganggu selama berhari-hari.
Penelusuran menunjukkan bencana ini disebabkan oleh hilangnya ribuan hektar hutan alam di wilayah hulu, yang sebagian besar masuk dalam konsesi TPL. Bencana kini makin sering terjadi. Selama musim hujan, banjir bandang dan longsor menghantam sejumlah daerah di sekitar Danau Toba, seperti Simalungun, Toba, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Utara.
Sebaliknya, saat musim kemarau tiba, sungai-sungai mengering dan masyarakat kesulitan air bersih. Ini menjadi bukti bahwa hutan sebagai penyangga tata air sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Di pihak perusahaan, Corporate Communication Head PT TPL Tbk Salomo Sitohang mengakui adanya penolakan itu. Pihaknya menghargai pendapat masyarakat meski menurut dia hal itu harus didasarkan data dan fakta yang akurat. ”Kami menolak tegas tuduhan bahwa operasionalisasi TPL menjadi penyebab bencana ekologi. Seluruh kegiatan kami sesuai dengan izin, peraturan, dan ketentuan,” kata Salomo.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2022/08/08/6a7ab527-e83d-4dda-b901-6cb3fbb7bc7e.jpg)
Salomo menambahkan, audit menyeluruh dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022–2023. Hasilnya menyatakan, TPL mematuhi seluruh regulasi serta tidak ditemukan pelanggaran dalam aspek lingkungan ataupun sosial.
Pemulihan
Masyarakat meyakini bahwa hanya ada satu jalan. Mereka menuntut kembalinya hak atas tanah ulayat. Mereka bertekad melindungi hutan yang tersisa dan memulihkan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Pengakuan terhadap hutan adat oleh negara memang sudah ada. Bahkan, Presiden ke-7 RI Joko Widodo pada Februari 2022 memberikan Surat Keputusan Hutan Adat kepada enam komunitas masyarakat adat yang menghadapi konflik agraria dengan TPL. Yang jadi persoalan, implementasi pascaterbitnya SK Hutan Adat masih belum jelas. Sebagian besar komunitas belum bisa memanfaatkan tanah tanah adat yang telah diakui negara.
Ketua Kelompok Masyarakat Adat Simenak Henak Mangapul Samosir (68) mengatakan, pihaknya mendapat SK Indikatif Hutan Adat di lahan seluas 236 hektar. Namun, legalitas hutan adat itu masih terganjal karena belum ada SK bupati atau peraturan daerah terkait penetapan komunitas masyarakat adat sebagai subyek hukum.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2022/02/03/24086f71-1f5b-4eb8-bcba-59813809880d.jpg)
”Kami sudah turun-temurun hidup dari hutan adat Simenak Henak. Kami menanam kemenyan di hutan adat kami sebelum akhirnya ditebang dan diganti menjadi tanaman eukaliptus oleh TPL,” kata Mangapul (Kompas.id 10/6/2025).
Hengky Manalu dari Biro Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menyebut, hal serupa dialami oleh Masyarakat Adat Janji Maria di kabupaten yang sama. Mereka belum bisa mendapat kembali lahan dari SK Indikatif Hutan Adat seluas 118 hektar yang diserahkan langsung oleh Presiden. Sebagian masih ditanami eukaliptus TPL.
Harapan lain datang dari pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dan Rancangan Peraturan Daerah Perlindungan Masyarakat Adat yang sudah bertahun-tahun terkatung-katung. Tanpa payung hukum yang kuat, masyarakat adat akan terus berada dalam posisi yang lemah dan mudah dikriminalisasi.