Saat SK Hutan Adat dari Presiden Tak Selesaikan Masalah, Gerakan Tutup TPL Terus Digalang

Masyarakat terus menggalang gerakan yang meminta penutupan PT Toba Pulp Lestari di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara. Konflik agraria yang tak terselesaikan selama puluhan tahun menjadi pemicunya, selain kerusakan ekologi.

Gelombang tuntutan penutupan terus meluas di masyarakat sekitar Danau Toba, gereja-gereja, komunitas-komunitas adat, aktivis dan aliansi masyarakat adat, dan para aktivis lingkungan. Tuntutan semakin gencar sebagai bentuk keprihatinan publik. Sebab, meski hak hutan adat sudah diperoleh masyarakat, pengembalian sebagian lahan dari konsesi perusahaan tak kunjung bisa dilakukan.

”Surat Keputusan Hutan Adat yang diserahkan langsung Presiden pun tidak diakui oleh TPL (PT Toba Pulp Lestari). Tetap saja sebagian lahan tak bisa diambil kembali oleh masyarakat adat,” kata Biro Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Hengky Manalu, Senin (9/6/2025).

Hengky menyebut, konflik agraria terjadi hampir di seluruh daerah yang berbatasan langsung dengan konsesi TPL. Perusahaan bubur kertas berbasis hutan tanaman industri itu memiliki konsesi seluas 167.912 hektar yang tersebar di sekeliling kawasan Danau Toba. Sebagian besar konsesi TPL berada di daerah tangkapan air Danau Toba yang hanya seluas 263.041 hektar.

Harapan penyelesaian konflik agraria di kawasan Danau Toba, kata Hengky, sebenarnya sudah muncul saat Presiden ke-7 Joko Widodo pada Februari 2022 memberikan Surat Keputusan Hutan Adat kepada enam komunitas masyarakat adat yang menghadapi konflik agraria dengan TPL.

Sejumlah komunitas masyarakat adat kawasan Danau Toba menerima Surat Keputusan Penetapan Hutan Adat di Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Kamis (3/2/2022).

KOMPAS/NIKSON SINAGA
Sejumlah komunitas masyarakat adat kawasan Danau Toba menerima Surat Keputusan Penetapan Hutan Adat di Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Kamis (3/2/2022).

Di tepi Danau Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan, Presiden menyerahkan langsung SK Hutan Adat yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada enam komunitas masyarakat adat. Hutan adat itu dikeluarkan dari konsesi TPL.

Empat di antaranya mendapat SK Penetapan Hutan Adat, yakni Masyarakat Adat Nagasaribu Siharbangan, Bius Huta Ginjang, Aek Godang Tornauli (Tapanuli Utara), dan Pandumaan-Sipitu Huta (Humbang Hasundutan). Namun, ada dua komunitas yang hanya mendapat SK Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat, yakni Masyarakat Adat Janji Maria dan Simenak Henak.

Karena belum mendapat SK defenitif, dua masyarakat adat itu belum bisa mendapat semua lahan yang tertera di SK tersebut. Meskipun mempunyai legitimasi politik yang sangat kuat karena diserahkan langsung oleh Presiden, tetap saja SK tersebut tidak diakui sepenuhnya.

Ketua Kelompok Masyarakat Adat Simenak Henak Mangapul Samosir (68) mengatakan, mereka mendapat SK Indikatif Hutan Adat di lahan seluas 236 hektar. Namun, legalitas hutan adat itu masih terganjal karena belum ada SK bupati atau peraturan daerah terkait penetapan komunitas masyarakat adat sebagai subyek hukum.

”Kami sudah turun-temurun hidup dari hutan adat Simenak Henak. Kami menanam kemenyan di hutan adat kami sebelum akhirnya ditebang dan diganti menjadi tanaman eukaliptus oleh TPL,” kata Mangapul (Kompas.id 8/12/2023).

Ketua Kelompok Masyarakat Adat Simenak Henak, Mangapul Samosir (68), menunjukkan hutan adat yang mereka dapatkan kembali setelah sempat menjadi konsesi PT Toba Pulp Lestari di Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Kamis (16/11/2023). Masyarakat mendapatkan kembali hutan adat yang menjadi sumber penghidupan mereka secara turun-temurun.

KOMPAS/NIKSON SINAGA
Ketua Kelompok Masyarakat Adat Simenak Henak Mangapul Samosir (68) menunjukkan hutan adat yang mereka dapatkan kembali setelah sempat menjadi konsesi PT Toba Pulp Lestari di Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Kamis (16/11/2023).

Hengky menyebut, hal serupa dialami oleh Masyarakat Adat Janji Maria di kabupaten yang sama. Mereka belum bisa mendapat kembali lahan dari SK Indikatif Hutan Adat seluas 118 hektar yang diserahkan langsung oleh Presiden. Sebagian masih ditanami eukaliptus.

Skema penyelesaian konflik agraria melalui SK Hutan Adat awalnya diharapkan menjadi skema baru penyelesaian konflik agraria masyarakat adat dengan TPL yang terjadi di banyak desa. Pada 2016-2023, KLHK sudah menetapkan 7.224 hektar hutan adat, termasuk wilayah hutan adat indikatif.

Surat Keputusan Hutan Adat yang diserahkan langsung Presiden pun tidak diakui oleh TPL (PT Toba Pulp Lestari). Tetap saja sebagian lahan tak bisa diambil kembali oleh masyarakat adat.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada lagi tanda-tanda penetapan hutan adat baru dari pelepasan konsesi TPL. Konflik agraria masyarakat adat dengan TPL tidak ada titik temu penyelesaian.

Konflik di lahan-lahan yang belum ada penetapan hutan adat pun jauh lebih panas. Kriminalisasi masyarakat adat tak kunjung berhenti.

Menurut data Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), sedikitnya 98 orang menjadi korban langsung kriminalisasi dan kekerasan di kawasan Danau Toba. Sebanyak 45 orang diproses hukum hingga ke pengadilan.

Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Rocky Pasaribu mengatakan, berbagai upaya yang dilakukan selama ini tidak menyelesaikan konflik agraria yang terjadi. Ada 32 komunitas adat yang didampingi KSPPM bersama AMAN Tano Batak. Namun, baru enam yang sudah mendapat SK hutan adat.

Karena itu, kata Rocky, mereka kini mendorong gerakan tutup TPL sebagai penyelesaian konflik agraria dan mencegah kerusakan ekologi yang lebih luas. ”Sejumlah akademisi dari beberapa perguruan tinggi juga telah ikut mendukung gerakan tutup TPL. Mereka akan menyatakan sikap secara resmi pada Kamis (12/6/2025),” kata Rocky.

Meskipun gerakan tutup TPL mendapat tekanan, Rocky menyebut mereka akan terus menyuarakannya. Sebelumnya, mantan Direktur KSPPM Delima Silalahi mendapat teror kiriman bangkai burung berdarah di rumahnya di Tapanuli Utara. Menurut Rocky, teror itu berkaitan dengan gerakan tutup TPL. ”Burung mati dikirim dua hari setelah kami melakukan aksi tutup TPL,” kata Rocky.

Sebelumnya, gereja Katolik melalui Lembaga Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kapusin Medan dan gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) juga menyatakan sikap dukungan pada gerakan tutup TPL. Aktivitas perusahaan dinilai telah memicu kerusakan ekologi, konflik agraria, dan kriminalisasi masyarakat adat.

”Kami menolak kehadiran PT TPL yang secara nyata telah merusak keanekaragaman hayati dan kekayaan ekosistem di kawasan Danau Toba,” kata Direktur KPKC Kapusin Medan Sumitro Sihombing OFM Cap.

Penutupan PT TPL juga disuarakan secara keras oleh Ephorus HKBP Victor Tinambunan. ”Pernyataan penolakan atas beroperasinya PT TPL ini merupakan sikap resmi HKBP dan 6,5 juta umat HKBP di kawasan Danau Toba dan sekitarnya,” katanya.

Alat berat digunakan untuk membongkar batang kayu Eucalyptus untuk diolah menjadi pulp (bubur kertas) di pabrik milik PT Toba Pulp Lestari Tbk, Senin (8/8/2022). Perusahaan yang berada di Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, ini setiap hari mampu memproduksi pulp sebanyak 570 ton. Pulp yang dihasilkan sebagian besar untuk memenuhi pasar dalam negeri, sedangkan sisanya (21 persen) diekspor ke China, Taiwan, dan Vietnam KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK) 07-08-2022

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Alat berat digunakan untuk membongkar batang kayu eukaliptus untuk diolah menjadi pulp (bubur kertas) di pabrik milik PT Toba Pulp Lestari Tbk, Senin (8/8/2022).

Menanggapi gerakan tutup TPL yang semakin luas, Corporate Communication Head PT TPL Salomo Sitohang mengatakan, mereka menghargai hak setiap pihak menyampaikan pendapat, tetapi harus didasarkan data dan fakta yang akurat. ”Kami menolak tegas tuduhan bahwa operasional TPL menjadi penyebab bencana ekologi. Seluruh kegiatan kami sesuai dengan izin, peraturan, dan ketentuan,” kata Salomo.

Salomo menambahkan, audit menyeluruh dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022–2023. Hasilnya menyatakan, TPL mematuhi seluruh regulasi serta tidak ditemukan pelanggaran dalam aspek lingkungan ataupun sosial.

Kami menolak tegas tuduhan bahwa operasional TPL menjadi penyebab bencana ekologi.

Dari luas konsesi 167.912 hektar, imbuhnya, perseroan hanya mengembangkan 46.000 hektar sebagai perkebunan eukaliptus serta 48.000 hektar sebagai area konservasi dan kawasan lindung.

TPL juga melakukan peremajaan pabrik untuk efisiensi dan pengurangan dampak lingkungan. Dalam aspek sosial, TPL juga membuka dialog, sosialisasi, dan program kemitraan bersama pemerintah, masyarakat adat, tokoh agama, dan lembaga swadaya masyarakat sebagai pendekatan sosial yang inklusif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *