1 Petrus 3: 8
Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati,
Renungan:
“Hati yang Seia Sekata: Cermin Kasih Kristus di tengah Dunia yang terpecah”
Ayat ini adalah permata rohani dalam surat Petrus yang ditulis kepada jemaat yang sedang menderita karena iman mereka. Di tengah tekanan dan ketidakadilan, Petrus tidak menasihati mereka untuk melawan atau mengeluh, tetapi justru menekankan kehidupan komunitas yang berakar pada kasih dan kerendahan hati. Inilah paradoks iman Kristen: di tengah penderitaan, panggilannya bukan untuk membalas, tetapi untuk mencerminkan Kristus yang penuh kasih dan kelemahlembutan.
Kata-kata “seia sekata” dan “seperasaan” menunjukkan suatu panggilan untuk hidup dalam kesatuan yang lahir dari pengenalan akan Kristus. Bukan keseragaman pikiran, melainkan kesatuan hati. Kesatuan ini bukan hasil kompromi manusia, tetapi buah dari Roh Kudus yang mempersatukan orang percaya dalam kasih. Dalam konteks gereja masa kini, ini menjadi tantangan yang tajam — karena seringkali perbedaan pendapat, jabatan, atau kepentingan pribadi memecah tubuh Kristus. Namun Petrus menegaskan bahwa kesatuan bukanlah opsi tambahan dalam kehidupan iman, melainkan tanda bahwa kita sungguh hidup di dalam Kristus.
“Kasihilah saudara-saudaramu” adalah panggilan yang mengakar pada identitas umat Allah. Dalam bahasa Yunani, Petrus menggunakan kata philadelphoi — kasih persaudaraan. Ini bukan kasih yang didasarkan pada kesamaan darah, melainkan kesamaan panggilan dan penebusan. Kasih persaudaraan inilah yang membuat gereja menjadi keluarga rohani. Dalam komunitas iman yang sejati, kita bukan sekadar rekan sepelayanan, melainkan saudara dalam Kristus yang saling menanggung beban. Ketika satu anggota menderita, semua turut merasakannya; ketika satu bersukacita, semua turut bersukacita.
Sementara itu, “penyayang dan rendah hati” menunjukkan karakter yang terbentuk dari hati Kristus sendiri. Kata “penyayang” (eusplanchnoi) menggambarkan kasih yang lahir dari kedalaman hati, bukan sekadar simpati dangkal. Orang yang penyayang mampu melihat luka orang lain dan meresponsnya dengan empati yang nyata. Dalam dunia yang keras dan individualistis, sikap ini menjadi saksi kasih Allah yang hidup di tengah manusia. Sedangkan kerendahan hati (tapeinophrones) adalah fondasi dari semua relasi Kristen. Tanpa kerendahan hati, kasih menjadi sombong, pelayanan menjadi alat kuasa, dan persekutuan menjadi kompetisi. Petrus tahu bahwa jemaat yang rendah hati akan memantulkan wajah Kristus — bukan untuk mencari kehormatan, melainkan untuk memuliakan Tuhan.
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang etika hidup, tetapi juga spiritualitas persekutuan. Kesatuan, kasih, belas kasih, dan kerendahan hati adalah buah dari kehidupan yang berakar dalam salib Kristus. Di kayu salib, kita melihat bagaimana Yesus mempersatukan yang tercerai-berai, mengasihi yang membenci-Nya, berbelas kasihan kepada yang menolak-Nya, dan merendahkan diri sampai mati demi keselamatan dunia. Maka setiap kali kita hidup sesuai dengan 1 Petrus 3:8, kita sedang memperlihatkan Injil dengan cara yang paling konkret — bukan melalui khotbah besar, tetapi melalui sikap hidup yang mencerminkan kasih Kristus.
Bagi jemaat di HKBP dan umat Kristen di mana pun, ayat ini menjadi cermin yang tajam untuk memeriksa diri: apakah kita hidup seia sekata dalam kasih, atau justru membangun tembok antar sesama? Apakah kita memiliki hati yang lembut terhadap penderitaan orang lain, atau kita semakin keras karena ego dan ambisi? Petrus mengingatkan bahwa hidup beriman tidak diukur dari banyaknya pelayanan atau aktivitas rohani, tetapi dari seberapa dalam kita meneladani hati Kristus dalam keseharian.
Hidup seia sekata, seperasaan, mengasihi, penyayang, dan rendah hati bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan sejati dari seorang murid Kristus. Dunia mungkin melihatnya sebagai kelembutan yang naif, tetapi di hadapan Allah, inilah kekuatan yang menaklukkan kebencian, memulihkan luka, dan menumbuhkan damai.
Kiranya setiap kita menyalakan kembali kasih dan kerendahan hati dalam relasi kita di rumah, di gereja, dan di dunia — sehingga dunia dapat melihat Kristus yang hidup melalui hidup kita. Sebab hanya dalam hati yang seia sekata dan penuh kasih, Tuhan berkenan hadir dan memerintah.
Tuhan Yesus memberkati. Amin.
Salam, Pdt. Tumpal H. Simamora, M.Th
