RENUNGAN HARIAN Jumat 31 Oktober 2025

Yohanes 17: 6

Aku telah menyatakan nama-Mu kepada semua orang, yang Engkau berikan kepada-Ku dari dunia. Mereka itu milik-Mu dan Engkau telah memberikan mereka kepada-Ku dan mereka telah menuruti firman-Mu.

 

Renungan:

“Menyatakan Nama Bapa: Roh Reformasi di Tengah Doa Yesus”

Yesus berdoa, bukan untuk dunia secara abstrak, melainkan bagi murid-murid yang Bapa berikan kepada-Nya. Kalimat pembuka ini menyingkap inti pelayanan Yesus: Ia datang untuk menyatakan “nama” Bapa. Dalam Alkitab, “nama” bukan sekadar bunyi atau label, melainkan wajah, karakter, dan hati Allah sendiri—kesetiaan-Nya, kekudusan-Nya, kerahiman-Nya. Ketika Yesus berkata, “Aku telah menyatakan nama-Mu,” Ia menyatakan bahwa hidup-Nya adalah ikon yang hidup dari siapa Bapa itu. Melihat Yesus berarti mengenal Bapa; mendengar ajaran-Nya berarti mendengar firman Bapa; merasakan kasih-Nya berarti merasakan denyut kasih Bapa.

Ada tiga gerak rohani yang mengalir dari ayat ini. Pertama, gerak pewahyuan: Allah yang tak terlihat menjadi dekat dan dapat dikenal di dalam Kristus. Injil bukan proyek manusia mendaki ke langit, melainkan Allah yang turun dan memperkenalkan diri. Kedua, gerak kepemilikan: “mereka itu milik-Mu.” Iman dimulai bukan dari kita menggenggam Allah, melainkan dari Allah yang menggenggam kita. Disiplin rohani menjadi respons syukur, bukan syarat untuk diterima. Ketiga, gerak ketaatan: “mereka telah menuruti firman-Mu.” Tanda murid yang sungguh mengenal Bapa adalah hati yang diperbarui untuk hidup sesuai firman. Pewahyuan melahirkan kepemilikan, dan kepemilikan memunculkan ketaatan.

Di sinilah Hari Reformasi Gereja menemukan nadinya. Reformasi bukan sekadar peristiwa sejarah pada 31 Oktober; Reformasi adalah panggilan agar gereja terus kembali pada Kristus yang menyatakan nama Bapa. Ketika tradisi, budaya, atau kuasa manusia menutupi wajah Injil, Roh Kudus membangunkan gereja untuk pulang ke pusatnya: firman yang murni, anugerah yang bebas, Kristus yang satu-satunya Juruselamat. Slogan-slogan Reformasi—sola Scriptura, sola gratia, sola fide, solus Christus, soli Deo gloria—bukan motto hiasan; itu jalan kembali agar nama Bapa tampak terang di tengah umat. Firman menjadi pelita, anugerah menjadi dasar, iman menjadi tangan yang menerima, Kristus menjadi pusat, dan kemuliaan hanya bagi Allah.

Yesus berdoa untuk orang-orang yang “menuruti firman.” Reformasi mengingatkan kita bahwa ketaatan bukan legalisme, melainkan buah relasi. Kita menuruti firman karena telah dikenal dan dimiliki oleh Bapa. Ketika gereja setia pada Kitab Suci, nama Bapa tampak dalam liturgi yang menguduskan, dalam pengajaran yang menguatkan nurani, dalam diakonia yang menyentuh luka masyarakat. Sebaliknya, saat gereja lebih sibuk memelihara citra daripada kebenaran, lebih mencintai popularitas daripada kekudusan, nama Bapa menjadi kabur. Reformasi memanggil kita untuk bertobat dari semua hal yang membuat Injil buram—baik kesombongan doktrinal, kemalasan rohani, maupun kompromi moral—dan kembali kepada Kristus yang berdoa agar kita dijaga oleh firman.

“Mereka itu milik-Mu,” kata Yesus. Kalimat ini menenangkan dan meneguhkan. Kita bukan milik sistem, bukan milik opini zaman, bukan milik ketakutan atau luka lama; kita milik Bapa. Kepastian ini melahirkan keberanian untuk membaharui gereja tanpa pahit, mengoreksi tanpa membenci, dan membangun tanpa menggusur kasih. Reformasi sejati tidak melahirkan roh polemis yang merusak, melainkan hati yang lembut dan teguh sekaligus: lembut karena sadar semua adalah anugerah, teguh karena kebenaran harus dinyatakan agar nama Bapa dihormati.

Pada akhirnya, Yohanes 17:6 mengajarkan bahwa misi gereja adalah meneruskan pekerjaan Yesus: menyatakan nama Bapa. Ketika kita memberitakan Injil dengan jelas, mendidik jemaat dengan sabar, melayani yang rapuh dengan belas kasih, dan menjaga integritas di tengah godaan pragmatisme, kita sedang menulis ulang kalimat doa Yesus dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita menjadi komunitas yang membuat orang berkata, “Di situ wajah Allah terasa dekat.” Itulah roh Reformasi—bukan nostalgia masa lalu, melainkan kesetiaan masa kini pada Kristus yang sama, firman yang sama, anugerah yang sama.

Tuhan Yesus memberkati. Amin.

Salam, Pdt. Tumpal H. Simamora, M.Th

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *