Ibrani 10: 35
Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya.
Renungan:
“Jangan Lepaskan Keberanianmu”
Ayat ini ditulis kepada jemaat yang sedang lelah dan goyah karena tekanan. Mereka menghadapi aniaya, penolakan, dan rasa kecewa yang membuat iman terasa berat untuk dipertahankan. Penulis surat Ibrani mengingatkan: jangan lepaskan keberanianmu. Dalam bahasa aslinya, kata parrēsia berarti keberanian untuk tetap teguh berbicara, bersaksi, dan hidup jujur di tengah ancaman. Bukan keberanian yang bising, tetapi keyakinan yang kokoh bahwa Allah tetap setia meskipun keadaan tampak gelap.
Iman sejati bukanlah perasaan tenang tanpa badai, melainkan keberanian untuk tetap percaya ketika badai datang. Banyak orang kuat di awal, namun mundur di tengah jalan karena harapan tidak segera menjadi kenyataan. Ketika doa belum dijawab, ketika pelayanan tidak dihargai, ketika kebaikan dibalas luka—di situlah ayat ini bergema: “Jangan lepaskan kepercayaanmu.” Iman bukan sprint, tetapi maraton; bukan kilat kemenangan, tetapi kesetiaan yang diuji waktu.
Ibrani 10:35 menegaskan bahwa iman yang bertahan memiliki “upah besar.” Upah di sini bukan sekadar berkat materi atau keberhasilan duniawi, melainkan persekutuan yang lebih dalam dengan Allah—buah dari kesetiaan yang tidak menyerah. Orang yang tetap beriman di tengah kesulitan sedang menanam akar yang menembus kedalaman kasih Tuhan. Mungkin tidak segera tampak, tetapi setiap keputusan untuk tetap percaya adalah investasi rohani yang akan berbuah pada waktunya. Seperti petani yang menunggu hujan, kita menantikan janji Allah yang tidak pernah gagal ditepati.
Sering kali kita kehilangan keberanian bukan karena kita berhenti percaya kepada Allah, tetapi karena kita berhenti mengingat siapa Allah itu. Saat kita lupa kepada-Nya, penderitaan menjadi pusat pandangan kita. Tetapi ketika kita kembali menatap wajah-Nya, penderitaan kehilangan kuasanya. Allah tidak menjanjikan jalan tanpa air mata, tetapi Ia berjanji akan berjalan bersama. Di situlah keberanian kita lahir—dari kesadaran bahwa kita tidak sendiri.
Keberanian rohani bukan hasil dari keras kepala, melainkan dari hubungan yang akrab dengan Tuhan. Ia menumbuhkan damai di tengah ancaman, pengharapan di tengah kehilangan, dan kekuatan untuk berkata: “Aku tahu kepada siapa aku percaya.” Dunia bisa mengguncang, tetapi hati yang berakar pada janji Allah tidak akan tercabut. Justru dalam kelemahan, kuasa Allah menjadi sempurna. Ketika kita tidak mampu berdiri karena kekuatan sendiri, kasih karunia-Nya menopang kita.
Renungan ini mengajak kita untuk melihat iman bukan sebagai beban, melainkan sebagai pegangan. Jangan lepaskan kepercayaanmu, meski dunia tampak tak berpihak. Jangan lepaskan keberanianmu, meski air mata menetes di tengah malam. Jangan lepaskan keyakinanmu, meski doa terasa sunyi. Setiap hari bertahan adalah langkah menuju kemenangan yang dijanjikan Allah. Dia yang memulai pekerjaan baik di dalam kita, tidak akan berhenti sebelum menyempurnakannya.
Mungkin hari ini engkau sedang di titik lemah—kecewa, ragu, merasa doa tidak menembus langit. Ingatlah: iman tidak selalu berarti kuat tanpa gentar, tetapi tetap menggenggam Tuhan bahkan dengan tangan yang gemetar. Keberanian sejati bukanlah tidak pernah takut, tetapi tetap melangkah bersama Tuhan di tengah ketakutan. Pegang janji ini: “Besar upah yang menantinya.” Allah menghargai setiap tetes kesetiaan, setiap doa yang diucapkan di tengah air mata, setiap langkah kecil menuju pengharapan.
Maka hari ini, jangan lepaskan kepercayaanmu. Dunia boleh berubah, tetapi kasih Allah tidak. Situasi boleh menggoyahkan, tetapi janji-Nya tetap teguh. Dan pada akhirnya, orang yang bertahan akan melihat bahwa semua penderitaan sementara tidak sebanding dengan kemuliaan yang disediakan bagi mereka yang tetap setia.
Tuhan Yesus memberkati. Amin.
Salam, Pdt. Tumpal H. Simamora, M.Th
