Matius 7:21
Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.
Renungan:
“Dikenal Tuhan karena Ketaatan, bukan karena seruan”
Yesus menutup Khotbah di Bukit dengan kalimat yang menajamkan hati: tidak semua yang fasih menyebut “Tuhan” sungguh-sungguh milik Tuhan. Kalimat ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menyelamatkan kita dari agama yang tinggal di bibir tetapi tidak mengubah hidup. Di hadapan Yesus, suara yang keras tidak menggantikan hati yang taat; bahasa rohani tidak bisa menyamarkan kehendak yang tetap ingin berjalan sendiri.
Yesus menempatkan dua kata kunci yang tidak boleh dipisahkan: “berseru” dan “melakukan.” Berseru kepada Tuhan itu baik, sebab doa dan pujian adalah nafas iman. Tetapi doa tanpa ketaatan hanya menghasilkan gema, bukan kehidupan. Iman yang sejati selalu mencari wujudnya dalam perbuatan—bukan demi pamer, melainkan sebagai buah dari hati yang sudah ditangkap oleh kasih Allah. Di sinilah bedanya antara “mengenal bahasa Tuhan” dan “dikenal oleh Tuhan.” Yang pertama bisa dipelajari; yang kedua lahir dari tinggal bersama-Nya dan berjalan dalam kehendak-Nya.
Frasa “pada hari itu” mengingatkan kita bahwa ada ujian terakhir yang tidak bisa dihindari: ujian keaslian. Bukan laporan prestasi rohani yang menentukan, tetapi keintiman yang melahirkan ketaatan. Banyak orang bisa menyebut nama Yesus, bahkan melayani dalam nama-Nya, namun tetap mempertahankan takhta diri. Yesus tidak sedang menolak pelayanan; Ia menolak pelayanan yang tidak mengalir dari hati yang tunduk. Tuhan tidak kekurangan pekerja, tetapi Ia mencari anak-anak yang mengerjakan kehendak Bapa.
Apa itu melakukan kehendak Bapa? Dalam Injil Matius, kehendak Bapa selalu terkait dengan menjadi seperti Anak: mengasihi musuh, mengampuni tanpa menghitung, memberi tanpa menuntut balas, mencari yang tersesat, setia dalam hal kecil, tulus dalam doa, jujur dalam kata, rendah hati dalam pelayanan. Melakukan kehendak Bapa berarti membiarkan firman mengubah cara kita mengambil keputusan di rumah, di pekerjaan, di gereja, di ruang digital—di tempat yang tidak terlihat sorotan panggung. Taat bukan pertama-tama soal besar-kecilnya karya, tetapi soal benar-tidaknya hati di hadapan Allah.
Yesus tidak berkata, “Masuklah, hai yang sempurna,” tetapi Ia berkata, “Masuklah, hai yang melakukan kehendak Bapa.” Itu berarti ketaatan bukan kesempurnaan tanpa cacat, melainkan arah hidup yang terus dibenahi. Orang yang taat bukan orang yang tidak pernah jatuh, melainkan orang yang setiap kali jatuh kembali berdiri dan kembali ke jalan Bapa. Ia mau dikoreksi, mau bertobat, mau belajar. Ia tidak berlindung di balik gelar rohani atau rutinitas ibadah, tetapi membuka diri kepada Roh Kudus untuk diselidiki dan diperbarui.
Renungan ini mengajak kita mengecek fondasi, bukan fasad. Apakah kita menikmati berbicara tentang Tuhan lebih daripada berbicara kepada Tuhan? Apakah kita menikmati terlihat rohani lebih daripada menjadi benar ketika tidak ada yang melihat? Apakah kita cepat berkata “Tuhan, Tuhan!” namun lambat berkata “jadilah kehendak-Mu”? Mungkin kita tidak melakukan kejahatan besar, namun menunda kebaikan yang jelas; mungkin kita tidak melanggar terang-terangan, namun mengeraskan hati dalam hal-hal kecil. Yesus memanggil kita keluar dari iman yang kosmetik menuju iman yang berakar: bertumbuh dalam kejujuran, kesetiaan, dan kasih yang konkret.
Kabar baiknya, perintah Yesus selalu datang bersama anugerah untuk melakukannya. Roh Kudus menyalakan keberanian untuk berkata “ya” dalam hal-hal sederhana: meminta maaf lebih dulu, mengembalikan yang bukan milik kita, menolak korupsi kecil, menepati janji, mendengar sebelum menilai, mendoakan orang yang menyakiti, menolong tanpa memfoto, memberi tanpa mengeluh, berkata benar meski merugikan diri. Dari “ya” kecil yang diulangi setiap hari, lahirlah karakter yang dikenali Surga.
Mari kita menjadikan Matius 7:21 sebagai cermin dan kompas. Cermin yang membongkar perbedaan antara kata dan hidup; kompas yang menegakkan arah pada kehendak Bapa. Hari ini, sebelum kita berseru “Tuhan, Tuhan,” marilah kita bertanya: “Tuhan, apa yang Engkau kehendaki aku lakukan?” Lalu lakukanlah itu—meski sederhana, meski sunyi. Di sanalah nama Yesus tidak hanya ada di bibir, melainkan berdenyut di nadi hidup kita.
Tuhan Yesus memberkati. Amin.
Salam, Pdt. Tumpal H. Simamora, M.Th
