2 Korintus 6: 13-14
Maka sekarang, supaya timbal balik — aku berkata seperti kepada anak-anakku —: Bukalah hati kamu selebar-lebarnya! Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?
Renungan:
“Membuka Hati, Menjaga Terang”
Rasul Paulus berbicara dengan suara seorang ayah yang penuh kasih kepada anak-anak rohaninya di Korintus. Ia berkata dengan lembut, “Bukalah hati kamu selebar-lebarnya.” Seruan ini bukan sekadar ajakan untuk bersikap terbuka, tetapi juga panggilan untuk hidup dalam kejujuran, kasih, dan ketulusan iman. Paulus ingin agar jemaat tidak menutup diri dari kebenaran Allah, dan sekaligus berhati-hati terhadap pengaruh dunia yang dapat mengaburkan terang iman mereka.
Kehidupan modern hari ini sering menempatkan kita di tengah tarikan dua arah: terang dan gelap, iman dan ketidakpercayaan, kasih dan egoisme. Dunia memuja kesuksesan instan, kenikmatan pribadi, dan kebebasan tanpa batas, sering kali tanpa memperhitungkan nilai moral atau iman. Di tengah arus itu, ajakan Paulus tetap relevan: janganlah kamu menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Bukan berarti menolak pergaulan, melainkan menjaga agar nilai-nilai ilahi tidak luntur dalam hubungan-hubungan yang membentuk hidup kita.
“Terang tidak dapat bersatu dengan gelap.” Dalam bahasa sederhana, ini berarti kita tidak dapat menempuh dua jalan sekaligus. Ketika kita memilih untuk hidup dalam terang Kristus, kita juga memilih untuk tidak ikut larut dalam kegelapan dunia yang menawarkan kesenangan semu. Hidup beriman bukan hanya soal ritual, tetapi juga tentang arah hati—apakah kita membuka hati untuk kasih Allah atau membiarkan hati menjadi sempit oleh kepentingan diri.
Paulus menulis sebagai seorang yang mengasihi, bukan menghakimi. Ia tahu, manusia sering ingin diterima oleh dunia. Namun, ia mengingatkan bahwa penerimaan sejati datang dari Allah yang melihat kedalaman hati. Ketika hati terbuka kepada Allah, kita tidak kehilangan diri di tengah dunia, melainkan menemukan siapa diri kita sebenarnya—anak-anak terang.
Di zaman ini, “pasangan yang tidak seimbang” tidak hanya berarti hubungan dengan orang tak percaya, tetapi juga keterikatan dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan kasih Kristus: keserakahan, kebencian, dan ketidakpedulian. Maka, membuka hati kepada Allah juga berarti menutup pintu bagi hal-hal yang mencuri damai sejahtera.
Renungan ini mengundang kita untuk hidup dengan hati yang terbuka, tetapi juga bijak. Terang tidak harus berperang dengan gelap; terang hanya perlu tetap menyala. Ketika hati kita penuh dengan kasih, pengampunan, dan iman, maka dunia akan melihat terang itu, dan mungkin—perlahan—kegelapan di sekitarnya pun akan berkurang.
Tuhan Yesus memberkati. Amin.
Salam, Pdt. Tumpal H. Simamora, M.Th
