Wahyu 15: 3
Dan mereka menyanyikan nyanyian Musa, hamba Allah, dan nyanyian Anak Domba, bunyinya: “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa!
Renungan:
“Nyanyian Kemenangan dari Orang yang Setia”
Wahyu 15:3 menyingkapkan pemandangan surgawi yang penuh kemuliaan: umat Allah yang telah menang atas segala kuasa jahat berdiri di hadapan takhta, menyanyikan nyanyian Musa dan nyanyian Anak Domba. Mereka memuji, “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa!” Nyanyian itu bukan sekadar lagu, melainkan ungkapan iman yang lahir dari pengalaman panjang penderitaan dan kemenangan.
Nyanyian Musa mengingatkan pada masa ketika Israel dibebaskan dari Mesir. Di tepi Laut Teberau, setelah melihat bagaimana tangan Tuhan menenggelamkan tentara Firaun, umat bersorak dalam syukur. Itu adalah nyanyian pembebasan. Tetapi dalam Wahyu, lagu itu bergema kembali bersama “nyanyian Anak Domba”, lagu penebusan yang dinyanyikan oleh mereka yang telah diselamatkan oleh darah Kristus. Dari zaman Musa sampai Kristus, inti nyanyian umat Allah tetap sama: Tuhan adalah Pemenang sejati.
Ketika para martir dan orang kudus menyanyikan lagu ini, mereka tidak bernyanyi karena hidup mereka mudah. Mereka bernyanyi karena mereka telah melihat kebenaran Allah di balik penderitaan mereka. Kata “besar dan ajaib” menggambarkan betapa luar biasanya karya Allah, melampaui pemikiran manusia. Dalam setiap pergumulan, Tuhan sedang mengerjakan sesuatu yang agung, sesuatu yang sering kali baru bisa dipahami ketika kita menatap dari sisi seberang penderitaan.
Mereka juga berkata, “Adil dan benar segala jalan-Mu.” Ungkapan ini adalah pengakuan iman yang dalam. Kadang kita tidak memahami mengapa sesuatu harus terjadi. Jalan Tuhan tidak selalu datar, dan banyak kali tampak berliku. Namun, iman menuntun kita untuk percaya bahwa di balik setiap jalan ada maksud yang benar dan adil. Dalam dunia yang sering kali tidak adil, umat Allah tetap percaya bahwa keadilan sejati ada di tangan Tuhan, Raja segala bangsa.
Nyanyian ini meneguhkan kita bahwa pada akhirnya semua bangsa akan datang dan menyembah Allah. Kuasa Tuhan tidak dibatasi oleh suku, bangsa, atau budaya. Ia adalah Raja yang berdaulat atas seluruh bumi. Karena itu, setiap lidah, setiap bahasa, dan setiap hati akan suatu hari bersatu dalam satu lagu pujian kepada-Nya.
Dalam hidup kita hari ini, nyanyian ini mengingatkan bahwa iman bukan hanya diucapkan, tetapi dinyanyikan dengan hati yang percaya. Ketika hidup terasa berat, bernyanyilah seperti Musa di tepi laut, sekalipun laut itu baru akan terbelah. Ketika kita merasa tertindas, bernyanyilah seperti para kudus dalam Wahyu, karena kemenangan Tuhan sudah pasti. Lagu pujian bukan sekadar melodi, tetapi kekuatan yang menghidupkan iman dan meneguhkan harapan.
Kiranya nyanyian Musa dan nyanyian Anak Domba juga menjadi lagu hidup kita: lagu tentang kesetiaan, tentang pengharapan, dan tentang kemenangan. Sebab Tuhan yang kita sembah tetap besar dan ajaib, adil dan benar, dahulu, sekarang, dan sampai selama-lamanya. Amin.
Tuhan Yesus memberkati.
Salam, Pdt. Tumpal H. Simamora, M.Th
