Yakobus 4: 15
Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.”
Renungan:
“Hidup dalam Kehendak Tuhan”
Yakobus 4:15 mengingatkan kita bahwa setiap rencana hidup manusia seharusnya disertai dengan pengakuan: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Ayat ini sederhana, tetapi mengandung kebenaran yang sangat dalam. Kita sering kali membuat agenda, target, dan rencana jangka panjang tanpa menyadari bahwa hidup kita sendiri sepenuhnya berada di tangan Tuhan.
Manusia modern terbiasa merasa menguasai hidup: teknologi memberi ilusi bahwa segala sesuatu dapat direncanakan, disusun, dan dipastikan. Namun satu peristiwa kecil: penyakit, kehilangan pekerjaan, atau bencana, dapat membatalkan seluruh rencana besar. Ayat ini bukan berarti kita tidak boleh merencanakan hidup, melainkan menegaskan bahwa semua rencana itu harus ditopang oleh kerendahan hati untuk berkata: “Hanya jika Tuhan berkenan.”
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat contoh sederhana. Seseorang mungkin berkata, “Besok saya akan membuka usaha,” atau “Saya pasti akan sukses di bidang ini.” Namun realitas bisa berbeda. Betapa sering kita mendengar kisah orang yang tiba-tiba dipanggil Tuhan di usia muda, atau rencana besar yang gagal karena faktor di luar kendali manusia. Semua ini meneguhkan bahwa manusia tidak berdaulat atas masa depan, melainkan Tuhanlah yang memegang kendali. Itulah sebabnya doa dan ketergantungan kepada Allah harus menjadi dasar setiap langkah.
Agustinus pernah berkata, “Kehidupan ini penuh dengan ketidakpastian, tetapi satu hal yang pasti adalah tangan Tuhan yang menuntun.” Dengan kata lain, pengakuan “Jika Tuhan menghendakinya” bukanlah sekadar kalimat basa-basi, melainkan sikap iman. Ini adalah pengakuan bahwa hidup adalah anugerah, dan masa depan adalah misteri yang hanya Tuhan yang mengetahuinya. Dengan sikap ini, hati kita terlatih untuk rendah hati, bersyukur, dan siap menerima apapun yang Tuhan izinkan terjadi.
Renungan ini menantang kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: Apakah kita merencanakan hidup seakan-akan kita berkuasa atasnya? Atau apakah kita sungguh menaruh iman kita dalam kehendak Tuhan? Hidup yang bersandar pada kehendak Allah bukan berarti pasif, tetapi aktif melangkah sambil menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya. Dengan demikian, setiap keberhasilan tidak membuat kita sombong, dan setiap kegagalan tidak membuat kita putus asa, sebab kita percaya bahwa yang terjadi adalah bagian dari rencana Allah yang lebih besar.
Pada akhirnya, iman sejati adalah berjalan di jalan yang kita tidak tahu ujungnya, sambil berpegang pada tangan Tuhan yang tahu segalanya. Maka biarlah setiap rencana, setiap cita-cita, dan setiap langkah kita diwarnai dengan ucapan iman: “Jika Tuhan menghendakinya.” Amin.
Tuhan Yesus memberkati.
Salam, Pdt. Tumpal H. Simamora, M.Th
