Jakarta, innews.co.id – Kerusakan alam sejak beroperasinya PT Toba Pulp Lestari (TPL), menjadi keprihatinan berbagai pihak. Dengan lantang mereka menyuarakan agar PT TPL ditutup.
Dalam seminar bertajuk “Merawat Lingkungan Hidup: Iman yang Hidup dalam Aksi Nyata”, di Gereja HKBP Kebayoran Baru, Jakarta, Sabtu (26/07/2025), para narasumber sepakat agar operasional PT TPL harus dihentikan agar tidak mengakibatkan kerusakan hutan dan lingkungan yang lebih parah lagi.

Narasumber yang dihadirkan yakni, Pdt. Prof. Septemmy E. Lakawa, (STFT Proklamasi Jakarta), Rukka Sombolinggi (Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Dewi Kartika (Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria), Supardi Marbun (eks Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional), dan Bhima Yudhistira Adhinegara (Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies).
“Bagi masyarakat adat di Tano Batak, wilayah adat merupakan identitas, bukan sekedar komoditas belaka. Ketiadaan pengakuan negara telah berujung pada perampasan wilayah dan kepunahan identitas,” kata Rukka Sombolinggi.
Namun, warga di sana menghadapi ancaman kehilangan wilayah adat akibat izin sepihak dari negara kepada perusahaan-perusahaan seperti TPL, pariwisata internasional, perkebunan sawit, hingga food estate.
Dijelaskan, konflik lahan, tumpang tindih izin, kerusakan lingkungan (hutan rusak, pencemaran air), serta kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat yang berjuang, menjadi daftar panjang permasalahan. Kasus penangkapan Sorbatua Siallagan yang dituding menduduki hutan menjadi contoh nyata dari ketidakadilan yang dihadapi.
Sementara itu, Dewi Kartika mengulas izin yang dikantongi TPL cacat hukum. Menurutnya, SK Menhut No. 579/Menhut-II/2014, menjadi dasar IUPHHK-HTI PT. TPL.
Dewi menilai, SK tersebut baru tahap pertama dari empat tahapan utuh menuju ‘pengukuhan kawasan hutan’, sesuai UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. “Sampai hari ini klaim penetapan kawasan hutan Provinsi Sumut belum dilakukan, semuanya baru sebatas Penunjukkan,” jelasnya.
“Ini menunjukkan adanya cacat hukum, maladministrasi kehutanan, manipulasi proses, hingga abused of power,” bebernya.
Bahkan, dirinya menyimpulkan bahwa keberadaan dan operasi TPL adalah praktik ilegal yang difasilitasi oleh pemerintah, bahkan melanggar prinsip internasional Free Prior Informed Consent.
“Dengan landasan hukum yang lemah, konsesi TPL tidak memiliki kekuatan hukum, membuka peluang advokasi lebih lanjut untuk menggugat perusahaan tersebut,” urainya.
Kelebihan pasokan
Di sisi lain, peneliti di Celios Bhima Yudhistira Adhinegara menyoroti industri kertas yang kini mengalami kelebihan pasokan secara global akibat perubahan digitalisasi.
Dia mengatakan, serapan kerja TPL hanya 1.141 orang, tidak sebanding dengan hilangnya kesempatan kerja bagi 3.000 orang di Sumatera Utara akibat eksternalitas negatif dari aktivitas perusahaan.
Bhima menyebut, ada degradation cost (biaya degradasi lingkungan) sebesar Rp 3,3 triliun per tahun dari sektor kehutanan dan produksi kayu di Sumut.
Sementara Pdt. Prof. Septemmy E. Lakawa memuji HKBP sebagai salah satu gereja di Indonesia yang memberikan perhatian khusus pada isu lingkungan.
“Saya berharap bahwa bukan hanya karena Danau Toba, tapi pengalaman tentang Danau Toba menjadi jiwa dari perjuangan HKBP melaksanakan dan mewujudkan suara imannya,” tuturnya.
Memerdekan Danau Toba
Misi luhur dari kegiatan ini, menurut St. Dr. Leo Hutagalung, Ketua Umum Panitia kegiatan ini adalah memerdekakan Danau Toba.
Puncak kegiatan ini, sambungnya, adalah Doa Bersama di Tugu Proklamasi, Jakarta, pada 18 Agustus 2025 mendatang.
Dijelaskan, akan hadir lebih dari 2.000 orang pada doa bersama tersebut, yang akan diawali dengan long march dari Kantor PGI, melewati Jalan Matraman.
Praeses HKBP Distrik DKI Jakarta Pdt. Oloan Nainggolan mengatakan, seminar ini menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab merawat lingkungan.
“Bagi HKBP, isu lingkungan, khususnya terkait polemik PT TPL bukan sekadar isu ekonomi atau sosial, melainkan bentuk seruan iman,” imbuhnya.
Dia menegaskan, itu merupakan panggilan iman kepada Allah pencipta dan pemilik lingkungan, sebuah upaya untuk memulihkan harkat dan martabat alam yang tak terpisahkan dari harkat dan martabat manusia. (RN)